Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
1) Sinopsis
Novel ini menceritakan tentang kisah
cinta yang tidak sampai karena terhalang oleh adat yang sangat kuat.
Zainudin adalah seorang pemuda dari perkawinan campuran Minangkabau dan
Mengkasar. Ayah Zainudin yaitu Pendekar Sutan yang berdarah Minangkabau
mengalami masa pembuangan ke Mengkasar. Di Mengkasar Pendekar Sutan
menikah dengan Ibu Zainudin yaitu Daeng Habibah yang berdarah asli
Mengkasar.
Keinginan Zaenudin untuk dapat
menginjakkan kaki di negeri asalnya, Minangkabau sangatlah kuat. Maka
berpamitanlah ia pada Mak Base, ibu angkatnya untuk berangkat ke negeri
Padang. Di sana bertemulah Zaenuddin dengan Hayati. Gadis asal Batipuh
yang sangat dicintainya. Berawal dari sini kisah cinta yang pahit antara
Zaenuddin dan Hayati dimulai. Hubungan mereka harus berakhir karena
adat. Adat di Minangkabau bangsa diambil dari ibu, sedangkan yang asli
keturunan Minangkabau ayahnya bukan ibunya. Sebab itu Zaenuddin dianggap
sebagai orang asing yang tidak bersuku. Hal itulah yang menjadi alasan
tidak disetujuinya hubungan mereka.
Akhirnya Hayati menikah dengan seorang
pemuda bangsawan asli Minangkabau bernama Azis. Seorang pemuda berharta
yang bersuku, tidak seperti Zaenuddin yang melarat dan tidak jelas
asal-usulnya. Mendengar pernikahan itu Zainudin jatuh sakit. Akan tetapi
berkat dorongan semangat dari Muluk sahabatnya yang paling setia,
kondisi Zainudin berangsur-angsur membaik dan pada akhirnya Zainudin
mampu bangkit dari keterpurukannya dan sukses menjadi seorang pengarang
yang sangat terkenal dan tinggal di Surabaya.
Di Surabaya inilah Zainudin kembali
dipertemukan dengan Hayati dan Aziz, suaminya. Suatu ketika Hayati dan
Aziz jatuh miskin akibat kebiasaan buruk aziz yang suka berjudi dan
menghambur-hamburkan uang. Mereka menumpang di rumah Zaenuddin yang pada
waktu itu Aziz dan Zaenuddin sudah bersahabat dan saling memaafkan,
melupakan kejadian di masa lalu. Karena merasa tidak enak menumpang
terlalu lama, Aziz pun pergi merantau mencari pekerjaan supaya tidak
merepotkan Zaenuddin lagi sementara Hayati tetap dititipkannya di rumah
Zaenuddin mengungu kepulanggannya. Tidak lama kemudian dikabarkan Azis
mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.
Rasa cinta Zainudin pada Hayati
sebenarnya masih membara. Akan tetapi mengingat Hayati itu sudah
bersuami, cinta yang masih menyala itu berusaha untuk dipadamkan,
walaupun Aziz telah tiada dan dalam keterangan suratnya sebelum
meninggal menyatakan telah merelakan Hayati untuknya. Dendam masa
lalunyalah yang membutakannya. Ia terlanjur sakit dan terlampau kecewa
dengan Hayati. Maka kemudian dibiayainya Hayati untuk pulang ke Batipuh
meski ia menolak dan bersikukuh ingin tinggal bersama Zaenuddin. Akan
tetapi, nasib malang menimpa Hayati dalam perjalanan pulang ke Batipuh.
Kapal Van Der Wijck yang ditumpanginya tenggelam. Hayati meninggal dunia
di rumah sakit di Cirebon.
Di saat-saat akhir hayatnya, Hayati masih
sempat mendengar dan melihat bahwa sebenarnya Zainudin masih sangat
mencintainya, namun semua itu sudah terlambat. Tidak berselang lama,
Zainudin menyusul Hayati ke alam baka, dan jenazah Zainudin dimakamkan
persis di samping makan mantan kekasihnya, Hayati.
2) Fakta Cerita
1. Alur
Alur yang digunakan dalam novel ini
adalah alur campuran. Ketika sedang menceritakan tokoh atau pada tahap
pengenalan, pembaca dibawa mengenang peristiwa masa lalu mengenai ayah
Zaenudin. Setelah kenangan itu habis, pembaca kembali dibawa ke
pengenalan semula, dan berangsur-angsur diajak mengikuti peristiwa
berikutnya untuk menuju peristiwa akhir. Hal itu dapat dilihat dari
kutipan berikut,
“… Untuk mengetahui siapa dia, kita harus
kembali kepada suatu kejadian di suatu negeri kecil dalam wilayah
Batipuh Sapuluh Koto (Padang Panjang) kira-kira tiga puluh tahun yang
lalu. (2008:5)”
Tahap-Tahap Alur
a. Pengenalan
Tahap ini umumnya berisi sejumlah
informasi penting sehubungan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan
pada tahap berikutnya. Pada novel ini tahap pengenalan yaitu ketika
penulis menceritakan tokoh Zaenudin dan asal usulnya.
Berikut ini merupakan kutipan tahap pengenalan dalam novel Tenggelamnya Kapal Vanderwijck:
“Di tepi pantai, di antara kampong Bara
dan kampung Mariso berdiri sebuah rumah bentuk Makasar, yang salah satu
jendelanya menghadap ke laut. Di sanalah seorang anak muda yang berusia
kira-kira 19 tahun duduk termenung seorang diri menghadapkan mukanya ke
laut. Meskipun matanya terpentang lebar, meskipun begitu asyik dia
memperhatikan keindahan alam di lautan Makasar, rupanya pikiranya telah
melayang jauh sekali, ke balik yang tak tampak di mata, dari lautan
dunia pindah ke lautan khayal (2008:4).
b. Konfik
Tahap ini merupakan tahap pemunculan
masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang kemudian menjadi sebab
terjadinya konflik. Konflik itu sendiri akan berkembang dan atau
dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya.
Tahap konflik dalam novel ini bermula
ketika Zaenudin bertemu dengan Hayati. Tahap konflik semakin naik ketika
hubungan mereka telah diketahui oleh masyarakat padang.
Berikut adalah kutipan mulai terjadinya konflik:
“Sesungguhnya persahabatan yang rapat dan
jujur diantara kedua orang muda itu, kian lama kian tersiarkan dalam
dudun kecil itu. Di dusen belumlah orang dapat memendang kejadian ini
dengan penyelidikan yang seksama dan adil. Orang belum kenal percintaan
suci yang terdengar sekarang, yang pindah dari mulut ke mulut, ialah
bahwa Hayati, kemenakan Dt……..telah ber “intaian” bermain mata,
berkirim-kirim surat dengan anak orang Makasar itu. Gunjing, bisik dan
desus perkataan yang tak berujung pangkal, pun ratalah dan pindah dari
satu mulut ke mulut yang lain, jadi pembicaran dalam kalangan anak
muda-muda yang duduk di pelatar lepau petang hari. Hingga akhirnya telah
menjadi rahasia umum.” (2008:54)
c. Klimaks
Tahap klimaks yaitu ketika konflik telah
mencapai intensitas tertinggi. Tahap ini terjadi ketika Zaenudin
berperang dengan sisi egonya. Yaitu ketika Hayati meminta maaf padanya,
mengakui kesalahannya, namun hati Zaenudin masih kacau, ia masih
merasakan sakit yang mendalam akibat penghianatan Hayati.
Kutipan tahap klimaks:
…“Tidak Hayati ! kau mesti pulang kembali
ke Padang! Biarkan saya dalam keadaan begini. Pulanglah ke Minangkabau!
Janganlah hendak ditumpang hidup saya , orang tak tentu asal ….Negeri
Minangkabau beradat !…..Besok hari senin, ada Kapal berangkat dari
Surabaya ke Tanjung Periuk, akan terus ke Padang! Kau boleh menumpang
dengan kapal itu, ke kampungmu”. (2008:199)
d. Tahap akhir (peleraian dan penyelesaian)
Adapun tahap akhir menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks.
Tahapan ini terjadi ketika Zaenudin
membaca surat Hayati yang dititipkan kepada Muluk sebelum Hayati pulang
ke Minangkabau. Berikut kutipan tahap ini, yaitu setelah Zaenuddin
membaca surat Hayati:
“… Saya akan berangkat ke Jakarta dengan
kereta api malam nanti, pukul 9 besok pagi sampai di Tanjung Priok.
Biasanya kapal dari Surabaya merepat di Pelabuhan Tanjung Priok pukul 7
pagi. Hayati akan saya jemput kembali, akan saya bawa pulang kembali”
(2008:211)
Adapun tahap penyelesaiannya adalah
ketika Zainuddin mendapat kabar bahwa Kapal yang ditumpangi Hayati
tenggelam, sedangkan Hayati dirawat di Rumah Sakit Tuban. Dengan
diterima Muluk sahabatnya Zainuddin menengok wanita yang sangat
dicintainya itu. Rupanya pertemuan mereka itu adalah pertemuan yang
terakhir karena Hayati menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam
pelukan Zainuddin. Kejadian itu membuat Zainuddin merasakan penyesalan
yang berkepanjangan hingga Zainuddin jatuh sakit dan meninggal dunia.
Zainuddin dimakamkan di sebelah makam Hayati.
2. Tokoh dan Penokohan
Tokoh utama/karakter utama
1) Zainuddin, yang memiliki sopan santun dan kebaikan pada semua orang.
Hal itu dapat diketahui dari penceritaan secara langsung oleh pengarang.
“…Anak muda itu baik budi pekertinya,
rendah hati, terpuji dalam pergaulan, disayangi orang. Sungguh belajar,
karena dia berguru kepada seorang lebai yang ternama…” (2008:26)
2) Hayati, yang memiliki karakter
baik. Sifatnya lembut, empatinya tinggi terhadap orang lain. Ini bisa
dilihat dari sikapnya kepada Zaenudin yang sangat prihatin dengan
kemalangan Zaenudin. Kutipan berikut merupakan bukti karakter Hayati
yang diungkapkan melalui tanggapan tokoh lain.
“…, Hayati tak akan mau berbuat demikian, sebab hatinya sangat baik.” (2008:42)
Tokoh pendukung
1) Aziz, yang mempunyai sikap kasar
dan sering menyakiti istrinya, dan tidak mempunyai tanggung jawab dalam
keluarga dan selalu berbuat kejahatan karena sering main judi dan main
perempuan. Kutipan berikut merupakan bukti karakter Aziz yang buruk
melalui penjelasan langsung oleh pengarang.
“Si Aziz anak Sutan Matari, … Tetapi
perangainya MasyaAllah! Penjudi, pengganggu rumah tangga orang, sudah
dua tiga kali terancam jiwanya karena mengganggu anak bini
orang….”(2008:124)
Tokoh Pelengkap
1) Muluk
2) Mak Base
3) Khadijah
4) Pendekar Sutan
5) Habibah
6) Datuk Mantari Labih
3. Setting
a) Setting Waktu
Cerita ini ditulis pada saat Indonesia
belum merdeka. Terlihat sebuah tekanan suasana, sebab kemerdekaan masih
dalam cita-cita dan penjajahan masih menekan dalam segala lapangan
hidup.
b) Setting Tempat
1) Mengkasar
“…, kota Mengkasar kelihatan hidup.” (2008:3)
2) Tepi pantai, Mengkasar
“Di tepi pantai, diatara kampung Baru dan Kampung Mariso berdiri sebuah rumah berbentuk Mengkasar” (2008:4)
3) Padang Panjang
” Bilamana Zainuddin sampai ke Padang
Panjang , negeri yang ditujunya, telah di teruskannya ke dusun Batipuh
karena menurut keterangan orang setempat, di sanalah negeri ayahnya yang
asli.” (2008:21)
4) Surabaya
“ Diberanda sebuah rumah makan yang ramai
dalam kota Surabaya, sehabis waktu magrib duduklah Zainuddin seorang
dirinya.” (2008:174)”
c) Setting Suasana
1) Menyedihkan, saat Mak Base
menceritakan tentangg kedua orang tua Zaenudin yang telah meninggal.
“Air mata Zaenudin menggelanggang mendengar hikayat itu,.. (2008:11)”
2) Menyenangkan, saat pertama
Zaenudin bercakap-cakap dengan Hayati. “…alangkah beruntungnya… mukanya
amat jernih, matanya penuh dengan rahasia kesucian dan tabiatnya
gembira,… “(2008:27-28)
3) Mengharukan, saat Zaenudin
mendengar kabar bahwa kapal yang ditumpangi Hayati tenggelam, dan pada
saat Hayati akan meninggal dunia. “seluruh badan Zaenudin gemetaran,…”
(2008:213) “cahaya kematian telah terbayang di mukaku! Jika kumati…
hatiku telah senang, sebab telah kuketahui bahwa engkau masih cinta
padaku.” (2008:216)
3. Sarana Cerita
1. Judul
Judul novel yang kami analisis adalah Tenggelamnya Kapal Vanderwijck karya
Hamka. Judul itu telah mewakili cerita dalam cerpen ini. Kapal
Vanderwicjk adalah kapal yang ditumpangi Hayati, kapal itu tenggelam
ketika tengah dinaiki oleh Hayati. Tenggelamnya kapal tersebut
mengartikan cinta Zaenudin dan Hayati yang kandas seperti kapal yang
tenggelam.
2. Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan dalam novel
ini adalah sudut pandang orang ketiga serba tahu, karena pengarang mampu
menuliskan sampai ke pikiran maupun isi hati tokoh. Berikut kutipannya.
“Dalam hatinya terbit perjuangan, pertama
cinta yang kekal kepada Hayati, kedua perasaan dendam yang sukar
mengikis, lantaran mungkir Hayati kepada janjinya.”(2008:177)
“…Maka tergambarlah dalam pikirannya
nasihat-nasihat Khadijah, nampak pula sekarang kokohnya benteng adat
yang memagari dirinya…” (2008:112)
3. Gaya Bahasa
Penulisan novel Tenggelamnya Kapal
Vanderwijck menggunakan bahasa Indonesia yang masih disisipi dengan
bahasa Minangkabau dalam hal kata sapaan. Berikut kutipannya.
“Bagaimana Sutan Mudo? Tanya Datuk… kepada mamak yang membantah Datuk Garang tadi.”(2008:111)
Selain itu, dilihat dari latar belakang
pengarang yang seorang religius, maka dalam novel tersebut dakwah
keislaman beritu terasa disetiap rangkaian ceritanya. Berikut
kutipannya.
“…Lepaskan saya berangkat ke Padang.
Kabarnya konon, di sana hari ini telah ada sekolah agama. Pelajaran
akhirat telah diatur dengan sebagus-bagusnya…”(2008:17)
4. Tema Cerita
Tema dalam novel Tenggelamnya Kapal Vanderwijck ini adalah cinta yang kandas karena terhalangi oleh adat. Berikut kutipannya.
“Dia mencintai Zaenuddin, tetapi
percintaan itu tidak ada jalannya……… Maka tergambarlah dalam pikirannya
nasihat-nasihat Khadijah, nampak pula sekarang kokohnya benteng adat
yang memagari dirinya…” (2008:112)
5. Amanat
-
- Kesetiaan, kejujuran, dan kebenaran akan senantiasa mendapat ujian
- Rela berkorban untuk kebahagiaan orang lain
- Segala rintangan yang ada harus dijadikan cambuk untuk terus maju
- Tiada kesuksesan tanpa perjuangan
- Hidup adalah sebuah perjuangan dan pengorbanan
- Cinta tidak harus memiliki
- Kebahagiaan tidak bisa diukur dengan banyak sedikitnya harta
0 comments:
Post a Comment